theodicy oor Indonesies

theodicy

/θiːˈɒd.ɪ.si/ naamwoord

A justification of a deity, or the attributes of a deity, especially in regard to the existence of evil and suffering in the world; a work or discourse justifying the ways of God.

Vertalings in die woordeboek Engels - Indonesies

Teodisi

philosophical and/or theological theory which attempts to explain how a good God could create a world containing so much evil

voorbeelde

The free will of humans is offered by the Augustinian theodicy as the continued reason for moral evil: people commit immoral acts when their will is evil.
Kebebasan berkehendak umat manusia oleh Teodisi Agustinus dianggap merupakan alasan berkelanjutan untuk kejahatan moral: orang melakukan perbuatan amoral atau bejat ketika kehendak mereka itu jahat.

In 1734 an artillery school was established to impart Western-style artillery methods, but the Islamic clergy successfully objected under the grounds of theodicy.
Pada tahun 1734, sebuah sekolah artileri didirian untuk memperkenalkan metode artileri Barat, namun kalangan ulama Islam mengajukan keberatan atas dasar teodisi.

Dystheism, which is related to theodicy, is a form of theism which holds that God is either not wholly good or is fully malevolent as a consequence of the problem of evil.
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai konsekuensi adanya masalah kejahatan.

In all three senses, Christian systematic theology will often touch on some or all of the following topics: God, trinitarianism, revelation, creation and divine providence, theodicy, theological anthropology, Christology, soteriology, ecclesiology, eschatology, Israelology, Bibliology, hermeneutics, sacrament, pneumatology, Christian life, Heaven, and interfaith statements on other religions.
Dalam semua tiga pengertian, Kristen teologi sistematis akan sering menyentuh pada beberapa atau semua dari topik-topik berikut: Allah, trinitarianisme, wahyu, penciptaan dan pemeliharaan ilahi, teodisi, antropologi teologis, Kristologi, soteriologi, eklesiologi, eskatologi, Israelology, Bibliology, hermeneutika, sakramen, pneumatologi, kehidupan Kristen, Surga, dan antaragama pernyataan tentang agama-agama lain. ^ Berkhof, Louis (1938). ^ "Categories of Theology".

As Theodor Adorno wrote, "he earthquake of Lisbon sufficed to cure Voltaire of the theodicy of Leibniz" (Negative Dialectics 361).
Seperti tulisan Theodor Adorno, "gempa bumi Lisbon cukup memulihkan Voltaire dari teodice Leibniz" (Dialektis Negatif 361).

The German mathematician and philosopher Gottfried Leibniz coined the term "theodicy" in 1710 in his work Théodicée, though various responses to the problem of evil had been previously proposed.
Istilah ini dicetuskan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam karyanya yang berjudul Théodicée, walaupun sebelumnya berbagai solusi untuk masalah kejahatan telah diajukan.

Theodicy is an attempt to reconcile the existence and nature of God with evidence of evil in the world by providing valid explanations for its occurrence.
Teodisi merupakan suatu upaya untuk menyelaraskan keberadaan dan hakikat Allah dengan adanya kejahatan di dunia dengan memberi penjelasan yang valid mengenai kejadiannya.

Seventeenth-century philosopher Leibniz coined a term for this endeavor: theodicy, or “justification of God.” —See page 6.
Ahli filsafat abad ketujuh belas Leibniz menemukan suatu istilah untuk usaha ini, theodicy, atau ”pembenaran Allah”.—Lihat halaman 6.

Hick distinguished between the Augustinian theodicy, which attempts to clear God of all responsibility for evil, based on human free will, and the Irenaean theodicy, which casts God as responsible for evil but justified because of its benefits for human development.
Hick membedakan antara teodisi Agustinus, yang mencoba membebaskan Allah dari segala tanggung jawab kejahatan, berdasarkan kebebasan kehendak, dengan Teodisi Irenaeus, yang menggambarkan Allah bertanggung jawab atas kejahatan tetapi dibenarkan karena bermanfaat untuk perkembangan manusia.

The Augustinian theodicy was first distinguished as a form of theodicy by John Hick in Evil and the God of Love, written in 1966, in which he classified Augustine's theodicy and its subsequent developments as "Augustinian".
Pertama kali dibedakan sebagai suatu bentuk teodisi oleh John Hick dalam Evil and the God of Love, yang ditulis pada tahun 1966, dimana ia menggolongkan teodisi Agustinus dan perkembangan selanjutnya sebagai "Augustinian".

The event was widely discussed and dwelt upon by European Enlightenment philosophers, and inspired major developments in theodicy.
Kejadian itu secara luas dibahas dan diminati oleh filsuf Pencerahan Eropa, dan mengispirasikan pengembangan utama dalam teodice dan dalam filosofi luhur.