tamarix oor Indonesies

tamarix

taxonomic terms (plants)

Vertalings in die woordeboek Engels - Indonesies

Tamariska

genus of plants

genus tumbuh-tumbuhan

Tamarix

naamwoord

genus of deciduous shrubs or small trees of eastern Mediterranean regions and tropical Asia

voorbeelde

Most botanists and bible scholars believe that the eshel tree planted by Abraham in the Book of Genesis, was Tamarix aphylla, The 'father of taxonomy' Carl Linnaeus wrote that its name was derived from the Ancient Greek 'a' "without", and 'phyllon' "leaf".
Kebanyakan ahli botani dan sarjana Alkitab meyakini bahwa pohon eshel (tamariska) yang ditanam oleh Abraham dalam Kitab Kejadian pasal 21:33, merupakan Tamarix aphylla, 'Bapa taksonom' Carolus Linnaeus menulis bahwa nama ini diturunkan dari bahasa Yunani kuno: 'a' "tanpa", dan 'phyllon' "daun".

Though the tamarisk is generally of relatively low height, one kind of tamarisk tree (Tamarix aphylla) sometimes grows to a height of 18 m (60 ft).
Meskipun tamariska biasanya relatif pendek, sejenis pohon tamariska (Tamarix aphylla) kadang-kadang tumbuh setinggi 18 m.

Tamarix species are used as food plants by the larvae of some Lepidoptera species including Coleophora asthenella which feeds exclusively on T. africana.
Spesies Tamarix digunakan sebagai tumbuhan makanan bagi larva sejumlah spesies Lepidoptera termasuk Coleophora asthenella yang hanya makan T. africana.

Tamarix aphylla has been used as a windbreak and shade tree in agriculture and horticulture for decades, especially in dryer regions such as the western United States and central and western Australia.
Tamarix aphylla digunakan sebagai "pemecah angin" (windbreak) dan pohon peneduh dalam pertanian dan hortikultura selama bertahun-tahun, termasuk daerah kering di Amerika Serikat barat serta Australia tengah dan barat.

Another type of tamarisk (Tamarix mannifera), when pierced by a scale insect, exudes drops of honeylike sap that are gathered and sold to pilgrims in some places as “manna.”
Tamariska jenis lain (Tamarix mannifera), sewaktu ditusuk oleh kutu sisik, mengeluarkan tetesan cairan mirip madu yang dikumpulkan dan dijual kepada para peziarah di beberapa tempat sebagai ”manna”.

Tamarix species are commonly believed to disrupt the structure and stability of North American native plant communities and degrade native wildlife habitat, by outcompeting and replacing native plant species, salinizing soils, monopolizing limited sources of moisture, and increasing the frequency, intensity, and effect of fires and floods.
Tamariska dianggap mengganggu struktur dan stabilitas tumbuhan asli Amerika Utara dan menghancurkan habitat liar alamiah dengan mengalahkan dan menggantikan spesies tumbuhan asli, dengan cara menambah kadar garam dalam tanah, memonopoli sumber kelembaban yang terbatas, serta meningkatkan frekuensi, intensitas, maupun efek kebakaran dan banjir.

Today, tamarix thickets are still widespread in the floodplains, and the banks are cultivated with fruit orchards and vegetable fields.
Saat ini, belukar tamarix masih tersebar luas di dataran banjir, dan tepian sungai dibudidayakan dengan kebun buah-buahan dan ladang sayur.

Even the dry wood of Tamarix due to its high ash (30–40%) and higher salt content of its foliage makes it difficult to burn.
Kayu tamariska yang kering juga sukar dibakar karena kadar abu tinggi (30-40%) dan kadar garam tinggi pada daun-daunnya.

Archaeological finds of charcoaled remains indicate that poplar and tamarix used to grow along the banks of the Zarqa, with forests of wild oak growing on the hillsides.
Temuan arkeologis dari fosil batu bara menunjukkan bahwa poplar dan tamarix pernah tumbuh di sepanjang tepi sungai Zarqa, dengan hutan-hutan liar oak yang tumbuh di lereng bukit.