Jean-Paul Sartre oor Engels

Jean-Paul Sartre

Vertalings in die woordeboek Indonesies - Engels

Jean-Paul Sartre

naamwoord

Aku mengerti kau mengagumi tulisan dari Jean-Paul Sartre.
I understand you admire the writings of Jean-Paul Sartre.

Sartre

naamwoord

Aku mengerti kau mengagumi tulisan dari Jean-Paul Sartre.
I understand you admire the writings of Jean-Paul Sartre.

voorbeelde

Being and Nothingness karya Jean-Paul Sartre dan The Myth of Sisyphus karya Albert Camus membahas topik ini.
Jean-Paul Sartre's Being and Nothingness and Albert Camus' The Myth of Sisyphus discussed the topic.

Aku mengerti kau mengagumi tulisan dari Jean-Paul Sartre.
I understand you admire the writings of Jean-Paul Sartre.

Judul ini terinspirasi oleh No Exit, sebuah drama teater tahun 1944 yang ditulis oleh filsuf Prancis Jean-Paul Sartre.
The title was inspired by No Exit, a 1944 play written by French philosopher Jean-Paul Sartre.

Jean-Paul Sartre, dalam bukunya Eksistensialisme Adalah Sebentuk Humanisme, mengutip Karamazov Bersaudara karya Dostoyevsky sebagai salah satu contoh krisis eksistensial.
Jean-Paul Sartre, in his book on existentialism Existentialism is a Humanism, quoted Dostoyevsky's The Brothers Karamazov as an example of existential crisis.

D Pada 1964, Jean-Paul Sartre menolak untuk diberikan Nobel Perdamaian, karena ia secara konsisten menolak semua penghargaan resmi pada masa lampau.
D In 1964, Jean-Paul Sartre refused to accept the Nobel Prize in Literature, as he had consistently refused all official honors in the past.

Jean-Paul Sartre, pengarang Being and Nothingness, menulis dalam esainya yang berjudul Existentialism and Humanism, "Apa maksudnya eksistensi ada di atas esensi?
Jean-Paul Sartre wrote in his essay Existentialism and Humanism, "What do we mean by saying that existence precedes essence?

Pada tahun 1964, Jean-Paul Sartre menolak untuk menerima Nobel Kesusastraan, seperti dia telah secara konsisten menolak semua penghargaan resmi di masa lalu.
In 1964, Jean-Paul Sartre made known that he did not wish to accept the Nobel Prize in Literature, as he had consistently refused all official honors in the past.

Meskipun Jean-Paul Sartre mengadopsi istilah "eksistensialisme" untuk filsafatnya sendiri pada tahun 1940an, pemikiran Marcel sering digambarkan "berlawanan hampir sepenuhnya" dengan penggunaan Sartre.
Although Jean-Paul Sartre adopted the term "existentialism" for his own philosophy in the 1940s, Marcel's thought has been described as "almost diametrically opposed" to that of Sartre.

Meskipun eksistensialisme secara umum ditengarai dimulai oleh Kierkegaard, tetapi filsuf eksistensialis besar pertama yang menggunakan istilah tersebut untuk memperkenalkan diri adalah Jean-Paul Sartre.
In fact, while existentialism is generally considered to have originated with Kierkegaard, the first prominent existentialist philosopher to adopt the term as a self-description was Jean-Paul Sartre.

Novel 1938 Jean-Paul Sartre, berjudul Nausea, penuh dengan ide-ide eksistensial dan merupakan buku yang dianggap mudah diakses untuk memahami posisi filosofis Sartre.
Jean-Paul Sartre's 1938 novel Nausea was "steeped in Existential ideas", and is considered an accessible way of grasping his philosophical stance.

Kampanye itu menjadi kian intensif ketika diketahui bahwa Neruda menjadi salah satu kandidat untuk Hadiah Nobel 1964, yang akhirnya diberikan kepada Jean-Paul Sartre.
The campaign became more intense when it became known that Neruda was a candidate for the 1964 Nobel Prize, which was eventually awarded to Jean-Paul Sartre (who rejected it).

Contohnya, Les Deux Magots di Paris, yang sekarang menjadi tempat tujuan wisatawan populer, sempat dikaitkan dengan intelektual Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir.
For example, Les Deux Magots in Paris, now a popular tourist attraction, was once associated with the intellectuals Jean-Paul Sartre and Simone de Beauvoir.

Maka banyak orang dewasa ini menganut pandangan filsuf Perancis Jean-Paul Sartre, yang berpendapat bahwa seseorang harus menjadi hakim sendiri sehubungan dengan masalah moral.
That is why many today have adopted the viewpoint of French philosopher Jean- Paul Sartre, who felt that man ought to be his own judge as to moral issues.

Kontribusi globalisasi pada pengasingan seseorang dari tradisinya masih tergolong rendah daripada dampak modernitas itu sendiri seperti yang dikatakan eksistensialis Jean-Paul Sartre dan Albert Camus.
Globalization's contribution to the alienation of individuals from their traditions may be modest compared to the impact of modernity itself, as alleged by existentialists such as Jean-Paul Sartre and Albert Camus.

Misalnya, filsuf Jean-Paul Sartre dan Theodor Adorno memiliki pandangan yang berbeda terkait jazz; Sartre menganggap jazz otentik, dan Adorno menganggap jazz tidak otentik (inotentik).
For instance, the philosophers Jean Paul Sartre and Theodor Adorno had opposing views regarding jazz, with Sartre considering it authentic and Adorno inauthentic.

Seorang penulis sekaligus eksistensialis bernama Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa karena tidak ada Allah, manusia ditinggalkan dan ada di alam semesta yang sama sekali acuh tak acuh.
Existentialist author Jean-Paul Sartre said that since there is no God, man is abandoned and exists in a universe that is absolutely indifferent.

Kendati sering dipandang sebagai tokoh eksistensialis Prancis yang pertama, ia melepaskan diri dari figur seperti Jean-Paul Sartre, serta memilih istilah 'Filsafat Eksistensi' atau "neo-Sokrateanisme" untuk mendefinisikan buah pemikirannya.
Though often regarded as the first French existentialist, he dissociated himself from figures such as Jean-Paul Sartre, preferring the term philosophy of existence or neo-Socrateanism to define his own thought.

Ada ilmuwan yang berpendapat bahwa istilah ini harusnya hanya digunakan pada pergerakan kebudayaan di Eropa pada tahun 1940an dan 1950an dan dihubungkan dengan karya filsuf Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Maurice Merleau-Ponty, dan Albert Camus.
Some scholars argue that the term should be used only to refer to the cultural movement in Europe in the 1940s and 1950s associated with the works of the philosophers Sartre, Simone de Beauvoir, Maurice Merleau-Ponty, and Albert Camus.

Jean-Paul Sartre menulis Tiada Jalan Keluar (bahasa Prancis: 'Huis Clos'; bahasa Inggris: No Exit) pada tahun 1944, sebuah naskah teater eksistensialis yang menjadi sumber kutipan populer: "Neraka adalah orang lain." (bahasa Prancis: "L'enfer, c'est les autres.").
Jean-Paul Sartre wrote No Exit in 1944, an existentialist play originally published in French as Huis Clos (meaning In Camera or "behind closed doors"), which is the source of the popular quote, "Hell is other people."

Dua penerima Nobel, Jean-Paul Sartre (Sastra, 1964) dan Lê Ðức Thọ (Perdamaian, 1973), menolak penghargaan tersebut; Sartre menolak penghargaan tersebut karena ia menolak semua penghargaan resmi, dan Lê menolah penghargaan tersebut karena situasi Vietnam pada waktu itu.
Two Nobel laureates, Jean-Paul Sartre (Literature, 1964) and Lê Ðức Thọ (Peace, 1973), declined the award; Sartre declined the award as he declined all official honors, and Lê declined the award due to the situation Vietnam was in at the time.

Setelah Perang Dunia II, eksistensialisme menjadi pergerakan filsafat dan budaya yang penting dan terkenal, terutama setelah tenarnya dua penulis Prancis, Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, yang menulis novel dan naskah drama yang habis terjual serta jurnalisme dan teks teoretis yang banyak dibaca orang.
Following the Second World War, existentialism became a well-known and significant philosophical and cultural movement, mainly through the public prominence of two French writers, Jean-Paul Sartre and Albert Camus, who wrote best-selling novels, plays and widely read journalism as well as theoretical texts.

Maka dari itu, terdapat beberapa tokoh terkenal yang menganggap Guevara sebagai tokoh besar, sebut saja Nelson Mandela yang menganggapnya sebagai "inspirasi bagi setiap manusia yang mencintai kebebasan", atau Jean-Paul Sartre yang berkata bahwa Che "tak hanya seorang intelektual, tetapi juga seorang manusia paling utuh pada masa ini".
As such, various notable individuals have lauded Guevara as a great person; for example, Nelson Mandela referred to him as "an inspiration for every human being who loves freedom", while Jean-Paul Sartre described him as "not only an intellectual but also the most complete human being of our age".

Salah satu pokok utama MacIntyre dalam karyanya yang paling terkenal, After Virtue, menjelaskan bahwa kegagalan upaya berbagai pemikir Abad Pencerahan untuk menyajikan suatu laporan akhir yang bersifat universal mengenai rasionalitas moral menyebabkan penolakan rasionalitas moral secara keseluruhan oleh para pemikir berikutnya seperti Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, dan Charles Stevenson.
In his most famous work, After Virtue, he deprecates the attempt of Enlightenment thinkers to deduce a universal rational morality independent of teleology, whose failure led to the rejection of moral rationality altogether by successors such as Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, and Charles Stevenson.

Dalam film Spectres of the Shoah, Lanzmann menjelaskan tantangan emosional dan praktikal yang ia hadapi dari tahun 1973–85, menjelaskan upayanya untuk menenangkan para korban selamat kamp kematian yang traumatik untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman Perang Dunia Kedua mereka; bahaya yang ia hadapi terlalui dan diam-diam memfilmkan para perwira SS secara ilegal; masa remajanya sendiri dijalani dengan bertarung dalam Gerakan Pemberontakan Prancis; percintaannya dengan Simone de Beauvoir dan pertemanannya dengan Jean-Paul Sartre; serta kesulitan-kesulitannya dalam mengkomposisikan sebuah naratif kohesif tunggal melebihi 200 jam dari material yang ia kumpulkan.
In Spectres of the Shoah, Lanzmann details the practical and emotional challenges he faced from 1973–85, explaining his efforts to convince traumatized death camp survivors to recount their Second World War experiences; the dangers he faced in tracking down and secretly filming SS Officers illegally; his own teenage years spent fighting in the French Resistance; his romance with Simone de Beauvoir and friendship with Jean-Paul Sartre; as well as his difficulties in composing into a single cohesive narrative more than 200 hours of material he collected.