Upanishad oor Indonesies

Upanishad

eienaam, naamwoord

a collection of Hindu religious and philosophical texts

Vertalings in die woordeboek Engels - Indonesies

Upanishad

naamwoord

Upanisad

naamwoord

voorbeelde

The Shramana movement, an ancient Indian religious movement parallel to but separate from Vedic tradition, often defied many of the Vedic and Upanishadic concepts of soul (Atman) and the ultimate reality (Brahman).
Gerakan Sramana, sebuah gerakan keagamaan India kuno yang sejalan dengan namun terpisah dari tradisi Weda, yang sering menentang banyak konsep Weda dan Upanisad mengenai (Atman) dan realitas tertinggi (Brahman).

By contrast, according to The Encyclopedia of Religion, the Upanishads, an extension of the Vedas dating from the eighth to the fourth century B.C.E. and compiled in Sanskrit, were “first put into written form in 1656 CE.”
Sebaliknya, menurut The Encyclopedia of Religion, buku Upanishad, sambungan dari kitab-kitab Weda yang berasal dari abad kedelapan sampai abad keempat S.M. dan disusun dalam bahasa Sanskerta, ”pertama kali dibuat secara tertulis pada tahun 1656 M”.

The early Upanishads all predate the Common Era, five of the eleven principal Upanishads were composed in all likelihood before 6th century BCE, and contain the earliest mentions of Yoga and Moksha.
Upanisad awal semuanya mendahului Era Umum (Masehi), lima dari sebelas Prinsip Upanisad disusun kemungkinan besar sebelum abad ke-6 SM, dan mengandung sebutan paling awal mengenai Yoga dan Moksha.

He should beg (for food) without annoying others, any food he gets he must compassionately share a portion with other living beings, sprinkling the remainder with water he should eat it as if it were a medicine. — Baudhayana Dharmasūtra, II.10.18.1-10 Similarly, the Nirvana Upanishad asserts that the Hindu ascetic should hold, according to Patrick Olivelle, that "the sky is his belief, his knowledge is of the absolute, union is his initiation, compassion alone is his pastime, bliss is his garland, the cave of solitude is his fellowship", and so on, as he proceeds in his effort to gain self-knowledge (or soul-knowledge) and its identity with the Hindu metaphysical concept of Brahman.
Ia harus meminta-minta (makanan) tanpa mengesalkan hati orang lain, sebagian dari makanan yang ia peroleh harus dibagi dengan penuh welas asih dengan makhluk hidup lain, sisanya diperciki air dan harus ia santap laksana obat. — Baudhayana Dharmasūtra, II.10.18.1-10 Menurut Patrick Olivelle, hal senada juga terdapat dalam Nirwana Upanisad yang menegaskan bahwa petarak Hindu harus berpendirian bahwa "angkasa adalah keyakinannya, kemutlakan adalah pengetahuannya, kemanunggalan adalah masuk perdananya, welas asih belaka adalah kegemarannya, kebahagiaan adalah kalung bunganya, gua sunyi adalah kawannya", dan seterusnya, sambil melanjutkan usahanya untuk mencapai pengenalan diri sendiri (atau pengenalan jiwa) dan hubungannya dengan konsep metafisika Hindu tentang Brahman.

Texts dedicated to Yoga include the Yoga Sutras, the Hatha Yoga Pradipika, the Bhagavad Gita and, as their philosophical and historical basis, the Upanishads.
Kitab yang memuat ajaran yoga meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis filosofis dan historisnya.

The Upanishads (literally, “sittings near a teacher”), also known as the Vedanta and written about 600-300 B.C.E., are treatises that set out the reason for all thought and action, according to Hindu philosophy.
Upanisad (secara harfiah, ”duduk dekat guru”), yang juga dikenal sebagai Wedanta dan ditulis sekitar tahun 600-300 SM, merupakan uraian yang mengemukakan alasan di balik semua pemikiran dan tindakan, menurut filsafat Hindu.

That class of Hindu sacred writings called the Sruti, meaning “learning by hearing,” refers to the primary revelation and includes the Vedas and the Upanishads.
Golongan buku suci Hindu yang disebut Sruti, yang berarti ”belajar dengan mendengarkan”, dianggap sebagai wahyu utama dan ini termasuk kitab-kitab Weda dan Upanishad.

Buddhist Scriptures in Multiple Languages More Mahayana Sutras The Hindu Vedas, Upanishads, Puranas, and Vedanta Sacred-texts.com A Modern sutra Digital Sanskrit Buddhist Canon Ida B. Wells Memorial Sutra Library (Pali Suttas) Chinese and English Buddhist Sutras
(Inggris)Mahayana Buddhist Sutras in English (Inggris)More Mahayana Sutras (Inggris)The Hindu Vedas, Upanishads, Puranas, and Vedanta Sacred-texts.com (Inggris)A Modern Sutra (Inggris)Digital Sanskrit Buddhist Canon (Inggris)Pali Suttas at Access to Insight (Inggris)Ida B. Wells Memorial Sutra Lirary (Pali Suttas) (Inggris)Suttas read aloud

Pali texts employ the Brahmanical motif of a group of three refuges, as found in Rig Veda 9.97.47, Rig Veda 6.46.9 and Chandogya Upanishad 2.22.3-4.
Teks-teks Pali mengambil motif Brahmanikal dari kelompok tiga perlindungam seperti yang ditemukan dalam Regweda 9.97.47, Regweda 6.46.9 dan Chandogya Upanishad 2.22.3-4. ^ Shults, Brett (May 2014).

Pandurang Shastri Athavale (1920-2003) was the originator of this movement that promotes a particular interpretation and reading of the Vedic scriptures like Bhagavad Gita, Vedas and the Upanishads.
Pandurang Shastri Athavale (1920-2003) adalah pendiri gerekan tersebut yang mempromosikan tafsiran dan bacaan naskah-naskah Weda seperti Bhagavad Gita dan Upanishad.

He also established the importance of monastic life as sanctioned in the Upanishads and Brahma Sutra, in a time when the Mimamsa school established strict ritualism and ridiculed monasticism.
Ia menekankan pentingnya hidup melepaskan diri dari ikatan duniawi sebagaimana diajarkan dalam Upanishad dan Brahma Sutra, pada saaat mazhab Mimamsa menekankan ritualisme yang ketat dan mengabaikan hidup sebagai petapa.

11. (a) What is the difference between the Brahmanas and the Upanishads?
11. (a) Apa perbedaan antara Brahmana dan Upanisad?

The Vedas were later supplemented by other writings, including the Brahmanas and the Upanishads.
Weda kemudian ditambah dengan kitab-kitab lain, termasuk kitab Brahmana dan Upanisad.

His works elaborate on ideas found in the Upanishads.
Karya-karyanya menguraikan pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam Upanishad.

Some of these writings (Vedas, Brahmanas, and the Upanishads) are viewed as Sruti, or “heard,” and are therefore considered to be directly revealed sacred writ.
Beberapa kitab (Weda, Brahmana, dan Upanisad) dianggap sebagai Sruti, atau ”didengar”, dan karena itu dianggap sebagai tulisan suci yang diwahyukan secara langsung.

Although humanity has no generally accepted definition of conscience or universal agreement about its role in ethical decision-making, three approaches have addressed it: Religious views Secular views Philosophical views In the literary traditions of the Upanishads, Brahma Sutras and the Bhagavad Gita, conscience is the label given to attributes composing knowledge about good and evil, that a soul acquires from the completion of acts and consequent accretion of karma over many lifetimes.
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hati nurani atau peranannya dalam pembuatan keputusan etis, ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan hati nurani: Pendekatan keagamaan Pendekatan sekuler Pendekatan filosofis Dalam tradisi kesusastraan Upanisad, Brahma Sutra dan Bhagawadgita, hati nurani adalah sebuah label yang diberikan untuk sikap-sikap yang mendirikan pengetahuan tentang baik dan buruk, yang diterima jiwa setelah menyelesaikan tindakan dan penumpukan karma selama berkali-kali masa hidup.

For example, the Hindu Upanishads (meaning “sitting near”) came to be called such because religious teachers were accustomed to confiding secret doctrines to their best and favorite pupils, to those “sitting near.”
Misalnya, buku Upanishad dari Hindu (yang berarti ”duduk di dekat”) disebut demikian karena guru-guru agama biasanya menyingkapkan doktrin-doktrin rahasia kepada murid-murid mereka yang paling baik dan paling dikasihi, kepada mereka yang ”duduk di dekat”.

He is someone lost in thoughts: he is miles away. — Karel Werner (1977), "Yoga and the Ṛg Veda: An Interpretation of the Keśin Hymn" The Vedic and Upanishadic texts of Hinduism, states Mariasusai Dhavamony, do not discuss self-inflicted pain, but do discuss self-restraint and self-control.
Ia adalah orang yang sedang tenggelam dalam lamunan: ia berada nun jauh di sana. — Karel Werner (1977), "Yoga and the Ṛg Veda: An Interpretation of the Keśin Hymn" Naskah-naskah Weda dan Upanisad dalam agama Hindu, menurut Mariasusai Dhavamony, tidak membahas tentang tindakan menyakiti diri sendiri, tetapi memang membahas tentang pengekangan dan pengendalian diri sendiri.

Pratt notes that Oldenberg (1854-1920), Neumann (1865-1915) and Radhakrishnan (1888-1975) believed that the Buddhist canon had been influenced by Upanishads, while la Vallee Poussin thinks the influence was nihil, and "Eliot and several others insist that on some points the Buddha was directly antithetical to the Upanishads".
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915), dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.

The older Upanishads launched attacks of increasing intensity on the ritual.
Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.

This gloomy and pessimistic attitude is well illustrated in the Maitri Upanishad, which asks: “In this body, which is afflicted with desire, anger, covetousness, delusion, fear, despondency, envy, separation from the desirable, union with the undesirable, hunger, thirst, senility, death, disease, sorrow and the like, what is the good of enjoyment of desires?”
Sikap yang suram dan pesimis ini dengan tepat digambarkan dalam Maitri Upanishad, yang bertanya, ”Dalam tubuh ini, yang dikuasai oleh nafsu, murka, keserakahan, khayalan, ketakutan, keputusasaan, kecemburuan, perpisahan dari apa yang diinginkan, persatuan dengan apa yang tidak diinginkan, rasa lapar, haus, usia tua, kematian, penyakit, kesedihan, dan hal-hal yang serupa, apa gunanya menikmati hal-hal yang diinginkan?”

(b) What doctrines are expressed in the Upanishads?
(b) Doktrin apa saja yang diungkapkan dalam Upanisad?

The Vedanta philosophy is based on the Upanishads, which occur at the end of the Hindu scriptures, the Vedas.
Filsafat Vedanta didasarkan pada Upanishad, yang terdapat pada bagian akhir dari kitab Hindu, Weda.

It originally occurs in the Chandogya Upanishad 6.8.7, in the dialogue between Uddalaka and his son Śvetaketu; it appears at the end of a section, and is repeated at the end of the subsequent sections as a refrain.
Mulanya kalimat ini muncul dalam kitab Chandogya Upanishad 6.8.7, dalam dialog antara Udalaka dan putranya, Swetaketu; kalimat ini muncul pada bagian akhir, dan diulang-ulang pada bagian selanjutnya.

Upanishads form the theoretical basis of classical Hinduism and are known as Vedanta (conclusion of the Vedas).
Upanishad membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda).